Oleh :
Teuku Abdul Hannan
Pemerhati Pengadaan Barang/Jasa
MediaSuaraMabes, Aceh – Tulisan ini disusun sebagai bentuk edukasi publik, agar masyarakat tidak dibohongi dan dibodohi oleh rekayasa birokrasi, serta mampu memahami aturan dengan benar. Lebih dari itu, tulisan ini juga merupakan peringatan bagi Mualem, agar tidak membiarkan janji politiknya dikorbankan oleh manuver birokrasi. Demikian pula bagi kontraktor dan pihak terkait, agar berhati-hati dan tidak ikut terseret dalam skema yang cacat hukum dan berpotensi merugikan keuangan negara.
Ketika rakyat miskin Aceh menunggu janji Mualem tentang pemenuhan hak dasar berupa rumah layak huni, kenyataannya masyarakat justru terancam mendapatkan PHP (Pemberi Harapan Palsu).
Inilah realitas pahit ketika politik berhadapan dengan birokrasi yang rusak: janji mulia berubah menjadi sekadar slogan, sementara rakyat kecil tetap menanggung akibatnya.
Kenapa PHP? Ada tiga alasan utama:
1. Problem Manajemen Internal Perkim Aceh yang buruk.
2. Penyimpangan mekanisme pengadaan yang dilakukan secara sadar.
3. Waktu pelaksanaan yang tidak realistis, sehingga program yang seharusnya menyentuh rakyat miskin berpotensi gagal total.
Hal ini sudah penulis kupas dalam opini sebelumnya berjudul “Pembangunan Rumah Layak Huni Aceh 2025: Realitas, Ilusi, dan Penyimpangan Pengadaan.”
Namun kali ini, poin pentingnya adalah: kebijakan T. Aznal Zahri, Kepala Dinas Perkim Aceh, justru merusak janji politik Mualem.
Birokrasi Aznal, Politik Mualem yang Tersandera
Program Pembangunan Rumah Layak Huni Aceh 2025 secara hukum adalah Pekerjaan Konstruksi sebagaimana Pasal 3 ayat (1) huruf b Perpres No. 16 Tahun 2018. Ketentuan ini sejalan dengan UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi, yang secara tegas mendefinisikan pembangunan rumah sebagai bagian dari jasa konstruksi.
Lebih rinci, KBLI 2020 pun mengklasifikasikannya ke dalam kode 41011 – Konstruksi Gedung Hunian. Bahkan, menurut Permen PUPR No. 10 Tahun 2021, kegiatan ini ditempatkan dalam sub-klasifikasi BG001 – Bangunan Gedung Hunian Tunggal dan Kopel. Dengan dasar hukum yang begitu jelas, setiap upaya untuk menggeser program ini menjadi “jasa akomodasi/sewa” adalah bentuk pelanggaran serius terhadap kerangka hukum pengadaan dan aturan khusus jasa konstruksi.
Masalah bertambah pelik setelah keluarnya Surat Edaran LKPP No. 2 Tahun 2025. Melalui aturan ini, pengadaan jasa konstruksi lewat E-Katalog Versi 5 resmi ditutup pada 31 Juli 2025. E-Katalog Versi 6 yang diberlakukan setelah itu hanya memfasilitasi pengadaan barang, jasa umum, dan digital—bukan konstruksi. Artinya, pekerjaan pembangunan rumah rakyat tidak lagi dapat dilakukan dengan mekanisme e-purchasing. Namun, Kepala Dinas Perkim Aceh, T. Aznal Zahri, justru memaksa penggunaan jalur e-purchasing dengan cara mengubah klasifikasi menjadi “jasa akomodasi/sewa”. Akibatnya, yang terlibat sebagai penyedia bukanlah perusahaan jasa konstruksi dengan Sertifikat Badan Usaha (SBU) BG001, melainkan perusahaan pengadaan barang yang sama sekali tidak punya kompetensi teknis membangun rumah.
Publik perlu memahami bahwa dalam KBLI 2020, Jasa Akomodasi masuk dalam Golongan Pokok I dengan kode 551–559, yang meliputi hotel, apartemen, vila, dan penginapan. Dalam pengadaan pemerintah, kelompok ini dipakai untuk kebutuhan rapat atau paket perjalanan dinas. Sementara Jasa Penyewaan/Sewa berada di Golongan Pokok N dengan kode utama 77, yang mencakup penyewaan kendaraan, mesin, atau peralatan. Tidak ada satupun yang terkait dengan pembangunan rumah. Maka, menggeser konstruksi ke nomenklatur akomodasi/sewa adalah tindakan menyesatkan, baik secara hukum maupun secara teknis.
Dampak Fatal Salah Klasifikasi
Lebih jauh lagi, dari sisi keuangan negara, kesalahan klasifikasi ini membawa konsekuensi fatal. Program pembangunan rumah seharusnya masuk nomenklatur Belanja Modal, karena menghasilkan aset tetap berupa rumah rakyat.
Namun, ketika dipaksa ke dalam klasifikasi jasa akomodasi/sewa, pos belanja itu otomatis bergeser menjadi Belanja Barang/Jasa konsumtif. Pergeseran ini bukan sekadar salah kaprah, tetapi cacat hukum sekaligus berpotensi menciptakan kesalahan material dalam laporan keuangan daerah. Belanja modal yang seharusnya menambah aset rakyat justru diperlakukan seolah-olah belanja operasional jangka pendek.
Praktik semacam ini sangat mungkin membuat pembayaran tidak sah menurut:
• UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan
• UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Apabila skema ini tetap dipaksakan untuk dicairkan, bukan hanya akan menjadi temuan BPK, tetapi juga berpotensi menyeret pejabat terkait ke ranah:
1. Tuntutan Ganti Rugi (TGR), karena dianggap menimbulkan kerugian daerah, dan
2. Pidana korupsi, karena menyalahgunakan kewenangan dengan akibat merugikan keuangan negara.
Dengan kata lain, “sekadar menggeser nomenklatur” bukan permainan kecil, melainkan bom waktu hukum yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Janji Politik yang Dikhianati
Janji politik Mualem tentang rumah layak huni adalah harapan besar rakyat Aceh. Tapi dengan manuver Aznal, program ini terancam gagal total.
Yang rugi bukan hanya rakyat miskin yang tak kunjung dapat rumah, tapi juga nama politik Mualem yang bisa hancur karena birokrasi amburadul di bawah kepemimpinan Aznal. Rakyat yang seharusnya mendapat rumah layak huni kini hanya menerima PHP (Pemberi Harapan Palsu). Atas dasar penjelasan di atas, mustahil program ini dijalankan. Bukan hanya hak dasar rakyat yang terabaikan, tapi juga nama baik Mualem yang dikorbankan demi ambisi dan rekayasa birokrasi ala Aznal.
Jika Mualem tak segera mengambil sikap, maka sejarah akan mencatat: rumah rakyat gagal terbangun bukan karena ketiadaan anggaran, melainkan karena kesalahan manajemen dan rekayasa kebijakan yang menyesatkan. Dan lebih parah lagi, janji politik Mualem bisa hancur di hadapan rakyatnya sendiri—bukan karena lawan politik, melainkan karena orang yang ia percayai.